HUKUM PIDANA DAN REVISI UU KPK
Kembali masyarakat Indonesia disuguhi rencana perubahan atau revisi Undang- undang (selanjutnya disebut UU) terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Protes bergelora hampir di seluruh daerah sebagai bentuk penolakan atas revisi UU KPK tersebut. Para musisi pun tak ketinggalan mengeluarkan sikap penolakan revisi UU KPK tersebut. Salah satunya Group Musik Slank yang konser di depan Gedung KPK. Hasilnya Pemerintah dan DPR sepakat menunda revisi UU KPK (Baca: Kompas.com- 23 Februari 2016).
Terlepas dari mendukung atau tidak, polemik yang dipertontonkan ini merupakan rangkian proses politik hukum di bangsa ini, terutama Hukum Pidana yaitu : bagaimana lembaga-lembaga Negara menempatkan posisi dan peran untuk mendudukan konteks Hukum Pidana sebagai pelindung atau perisai untuk melindungi kenyamanan dan keamanan masyarakat umum atas tindakan kesewenang-wenangan dengan cara menegakan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat.
Dalam diskursus hukum terutama Hukum Pidana, Pidana bukan dan tidak sama sekali terkait dengan bagaimana bentuk menghukum seorang yang melakukan tindak Pidana sekeras-kerasnya untuk memunculkan efek jera/ampun dan menjadi contoh bagi publik. Tak sedikit di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini Pidana Mati dijatuhi kepada terpidana narkoba dan hampir sebagian telah dieksekusi mati dan ramai diberitakan di media massa (cetak maupu elektronik). Namun hal ini tidak berdampak signifikan atas tindakan tercela bisnis narkoba di Indonesia. Malahan sebaliknya semakin menjadi (tidak ada efek jera). Hukum Pidana pada esensinya ialah instrumen perlindungan atas prilaku dari tindakan kesewenang-wenangan, entah itu datang dari kekuasaan,kelompok, atau individu.
Keberadaan konstitusi kita UUD 1945 merupakan iplementasi paling mendasar ruh dari pidana itu sendiri sebagai pelindung atas kesewenangan-wenangan. Sebagaimana pengertian yang dikemukakan oleh W.L.G Lemaire hukum pidana ialah : Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang oleh pembentuk Undang-undang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus (Lamintang, SH, Dasar-dasar hukum pidana di Idonesia. Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2014: hal 1).
Dalam ketentuan undang-undang aparatur hukum harus menjunjung tinggi Prinsip Praduga tak Bersalah, yang pada dasarnya seorang tersangka belum bisa disebut bersalah melakukan Pidana. Setelah adanya ketentuan pengadilan melalui sebuah persidangan untuk menentukan bersalah atau tidak (Baca : Pasal 8 ayat (1) UU Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c). Prinsip ini dengan jelasnya menempatkan Pidana bukan semata-mata untuk kepentingan umum saja, namun juga melindungi setiap warga Negara/individu (tersangka) dari kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan itu bisa datang dari penilaian dan vonis dari penilaian masyarakat secara umum, apalagi masyarakat yang melek hukum. Banyak penilaian yang muncul dari masyarakat atas beragam permasalahan hukum terutama Pidana Korupsi. Baru pada tahapan proses awal (penyidikan) seorang tersangka sudah memperoleh vonis bersalah dari publik kecaman dan dorongan untuk bersalah muncul ramai diberitakan di media cetak dan elektronik, dan tak sedikit pula penilaian yang muncul dari masyarakat ini mempengaruhi keputusan yang diambil majelis hakim. Banyak putusan hakim yang saya temui mempertimbangkan aspek aspirasi dari masyarakat tidak pada fakta dan bukti yang dihadirkan pada proses persidangan. Tentunya hal ini miris adanya.
Masalah penegakan hukum pidana di Indonesia lama menjadi bahan perdebatan oleh para pakar dan ahli. Terakhir hingga kini perumusan KUHAP dan KUHP belum juga ada titik terang di DPR. Salah satu masalah yang mendasar menjadi bahan perdebatan ialah perumusan sistem hukum di Indonesia. Terutama praktek persidangan pidana. Jika Negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan sidang pendahuluan (Amerika Serikat) yang mana dalam sidang itu pengadilan menguji dan menilai apakah barang bukti yang diajukan penyidik sudah cukup untuk menetapkan seorang sebagai tersangka pidana.? Prosedur sidang pendahuluan ini di KUHAP dikenal dengan Praperadilan, belakangan muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan penetapan tersangka oleh penyidik dapat diajukan Praperadilan sejauh barang bukti yang menetapkan tersangka tidak cukup dua alat bukti.
Sidang pendahuluan ini menjadi pembahasan tersendiri dalam perancangan KUHAP yang baru yaitu terkait dengan Hakim Komisioner. Lambatnya pembahasan KUHAP di DPR menurut penulis memperpanjang praktek kesewenang-wenangan oleh aparatur hukum dalam penetapan seorang sebagai tersangka pidana. Pasalnya penilaian tersebut muncul dari hasil kajian internal penyidik, tidak dari hakim sebagai juris yang disebut Aristoteles sebagai corong dari undang-undang.
Tersangka harus melalui sebuah proses praperadilan untuk memperoleh, penilaian pendapat hakim/juris atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Tentu hal ini panjang dan memakan waktu serta menyimpang dari asas peradilan, sederhana dan biaya ringan.
Akhirnya tolak atau mendukung revisi UU KPK apakah memengaruhi jumlah perkara korupsi di Indonesia.? Terakhir diberitakan di media massa Ketua Pengadilan Negeri Ternate mengeluh kurangnya Hakim Ad Hoc tindak pidana korupsi, karena perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Ternate mulai meningkat, hal ini dapat kita lihat bahwa relevansi antara revisi dan tidaknya UU KPK tidak memengaruhi secara signifikan pemberantasan korupsi di negara ini. Malahan sebaliknya adanya penumpukan tindakan kesewenangan-wenangan oleh lembaga-lembaga Negara semisal KPK, selain diberikan kewenangan yang luar biasa oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan hingga penuntutan di Pengadilan. Tidak berwenangnya KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan/Penuntutan) adalah ketentuan yang menurut penulis melenceng dari politik hukum pidana itu sendiri. Yaitu melindungi dari tindakan kesewenang-wenangan. Pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra benar adanya. Dalam sesi sebuah wawancara beliau mengatakan bahwa menegakan hukum adalah tugas dan tangung jawab kita semua. Namun menegakan hukum itu harus berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional. Lantas apakah penegakan hukum kita selama ini sudah berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional,? Pembaca yang menilainya.(*)
**Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Malut Post, 02 Maret 2016
Komentar
Posting Komentar