MANTAN PELAKU KORUPSI DI MATA KONSTITUSI

(Catatan Hukum atas PKPU No 20 Tahun 2018)
Tinggal   menghitung   bulan,   Rakyat kembali disuguhi pentas   demokrasi   dengan   diadakannya Pemilihan Anggota DPR, dan DPRD Propinsi dan/atau Kabupaten, Kota. Harapannya hajatan pentas lima tahunan ini  dapat berdampak baik terhadap kondisi sosial, ekonomi, hukum dan politik masyarakat untuk lebih baik lagi. Wakil-wakil rakyat dan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih nantinya diharapkan dapat menyelesaikan problem kebangsaan yang semakin akut ini.Di tengah kemelut perdebatan visi dan misi para calon anggota Legislatif dan Capres-Cawapres,publik kemudian disuguhi problem normatif yang tentu saja membuat “kepala sakit” para calon legislatif yang pernah dihukum pidana penjara oleh karena terbukti melakukan Tindak Pidana Narkoba,   kejahatan   seksual   terhadap   anak   dan   Korupsi.   Problem   ini   kemudian   muncul perdebatan yang dengan mudah kita jumpai pada media cetak dan maupun media sosial lainnya (terutama para mantan pelaku pidana korupsi). Ada yang sependapat bahwa para mantan pelaku pidana tidak lagi mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai angota Legislatif dan AnggotaDPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, terutama para mantan pelaku pidan Korupsi, ada juga yang beranggapan bahwa tidak demikian para mantan pelaku pidana korupsi juga mempunyai hak untuk   mencalonkan   diri   sebagai   anggota   legislatif  dan/atau   Anggota   DPRD   Propinsi   dan Kabupaten/Kota.

Berikut ini penulis mencoba untuk menyajikan pendapat hukum penulis ke khalayak pembaca, sehubungan   dengan   permasalahan   normatif   para   mantan   pelaku   korupsi   yang   dilarang   atau dicekal untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR dan DPRD Propinsi/Kabupaten dan/atauKota. Penyajian pendapat hukum penulis berikut ini menggunakan metode analisis Normatif Yuridis   pada   ketentuan-ketentuan   peraturan   perundang-undangan   dimaksud,   dengan memunculkan   satu   permasalahan   mendasar.  Apakah   pelarangan   para   mantan   pelaku   pidana korupsi untuk mencalonkan diri menjadi Anggota DPR, DPD dan DPRD Propinsi/Kabupaten dan/atau   Kota   adalah   sah  secara   konstitusional   atau   sebaliknya   bahwa   pelarangan   dimaksud adalah pelanggaran konstitusional terutama hak sebagai warga Negara Indonesia?

Secara teknis pelarangan mantan pelaku pidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD Propinsi dan/atau Kota diatur dalam PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsidan   Dewan   Perwakilan   Rakyat   Daerah   Kabupaten/Kota,     pada   Pasal   4   ayat   (3)   yangmenyatakan ; “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi”. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU No 20 tahun 2018 ini kemudian menjadi basis argumentasi hukum   KPU  dan   KPU  Propinisi   dan  Kabupaten/Kota  mencekal   para   mantan  pelaku   pidana korupsi   dari   daftar   calon   anggota   legislatif   (DPR,   DPRD   Provinsi   dan   Kabupaten/Kota). Menurut penulis hal ini miris adanya karena penjaminan hak sipil/politik telah jelas disebutkan dalam konstituisi (UUD 1945). Dalam UUD 1945 atau Konstitusi sebagai dasar Negara Indonesia, telah menjaminkan kepada setiap warga Negara Indonesia untuk bebas dari tindakan-tindakan diskriminasi dalam bentuk apa-pun. Sebagaimana ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang dari   perlakuan   yang   bersifat   diskriminasi,   atas   dasar   apapun   dan   berhak   mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminasi itu”. Perlakuan Diskriminasi atau Diskriminasi   itu   menurut   kamus   besar   Bahasa   Indonesia,  Diskriminasi   diartikan   sebagai pembedaan   perlakuan   pada   sesama   warga   Negara.   Sementara   itu  Menurut   Theodorson  &Theodorson (1979), Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang pada perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal atau atribut khas seperti ras, suku, agama atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Jika   memperhatikan   pengertian   diskriminasi   sebagaiman   uraian   di   atas,   para   pembaca   pasti sudah mempunyai pemahaman bagaimana posisi para mantan pelaku pidana korupsi yang dicekal oleh KPU untuk mencalonkan diri sebagai Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, tentunya   tindakan   yang   dilakukan   oleh   KPU   melalui  PKPU   No   20   tahun   2018   adalah diskriminasi, dimana   KPU  secara   sepihak   menempatkan   para  mantan   pelaku   pidana   korupsi sebagai   kelompok   tertentu   yang   tidak   mempunyai   hak   apapun   terutama   mencalonkan   diri walaupun   telah   selesai   menjalani   pidana   serta   telah   mendapatkan   rehabilitasi   di  Lembaga Permasyarakatan.

Sayangya dalam PKPU dimaksud tidak ditemukan penjelasan hukum secara rasional kenapa para mantan pelaku pidana korupsi dicekal menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Padahal dalam ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menjamin setiap warga negara tanpa membedakan kelompok tertentu, ras,suku dan agama berhak untuk dipilih dalam pemilihan umum, sebagaimana bunyi Pasal 43 ayat(1), UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut; “Setiap warga neagra berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang”. Pemberantasan terhadap perlakuan korupsi adalah tangung jawab semua pihak, namun tentunya pemberantasan korupsi dimaksud telah jelas diatur melalui cara-cara konstitusional, yang mana diatur   dalam   UU   Pemberantasan   Tindak   Pidana   Korupsi   yang   sangat   jelas   dan   gamblang menerapkan hukuman kepada pelaku pidana korupsi yang telah terbukti di pengadilan melalui sejumlah sanksi selain hukuman pidana penjara, denda hingga pada pencabutan hak-hak tertentu. Perumusan pidana pada pelaku pidana korupsi adalah bentuk hukuman negara terhadap pelakupidana korupsi yang terbukti dan, jika hukuman tersebut telah selesai maka pelaku tersebut harus dianggap   telah   bersih   serta   Negara   melalui   kekuasaan   yang   ada   harus   mengembalikan kedudukan yang semula mantan pelaku pidana korupsi tersebut di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak ada perlakuan diskriminasi yang inkonstitusional terutama bagi masyarakat dalam perlakuan dan pandangan mereka terhadap mantan pelaku pidana korupsi. Kenyataan yang ada, PKPU Nomor 20 tahun 2018   yang diproduksi oleh KPU telah membatasi hak-hak dasar konstitusional para mantan pelaku pidana korupsi, dan secara sosiologis PKPU dimaskud   telah   membentuk   kelompok   baru   dalam   masyarakat   atas   pandangan   masyarakat terhadap  mantan pelaku  pidana   korupsi, sebagaimana pandangan masyarakat Indonesia pada masa  Orde Baru yang memandang kelompok masyarakat atau individu-individu simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentunya hal ini tidak diinginkan di tengah-tengah negara kita yang sedang memperbaiki kualitas cara bernegara demokrasi yang baik dan konstitusional. Rujukan PKPU NO 20 tahun 2018 secara normatif merujuk pada Ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada pasal 240 ayat (1) huruf g menyebutkan; “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota adalah warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan; g. tidak pernah dipenjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Jika   kita  memperhatikan   ketentuan   Pasal   240  (1),   UU   Nomor   7   tahun   2017   terdapat   frasa “kecuali   secara   terbuka   dan   jujur   mengemukakan   kepada   publik   bahwa   yang   bersangkutan mantan terpidana”. Frasa ini dengan jelasnya dikesampingkan oleh KPU melalui PKPU No 20 Tahun 2018 dimana tidak mengemukakan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam UU No 7 tahun 2017.

Menurut   penulis   jelaslah   bahwa   PKPU   NO   20   tahun   2018   telah   melenceng   dari   Konstitusi bahkan UU No 7 tahun 2018 sebagai dalil induk argumentasi  hukum atas keberadaan PKPU NO 20 tahun 2018. Sekali lagi penulis juga mempunyai tangungjawab untuk memberantas korupsi,namun pemberantasan korupsi dimaksud harus melalui  tindakan-tindakan yang konstitusional yang berdiri pada hak asasi manusia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kesan terhadap Negara ini adalah Negara yang Demokrasi bukan Negara yang totaliter/otoriter,Sekian. (*)  
Sumber : 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH : GUGATAN PERLAWANAN EKSEKUSI

CONTOH NOTA PEMBELAAN ATAU PLEDOI PADA PERKARA UU ITE

TINDAK PIDANA KORUPSI AKTIF MENURUT "ADAMI CHAZAWI"