PUTUSAN PENGADILAN DAN OPINI PUBLIK



(Catatan Menjelang Putusan Dugaan Korupsi Masjid Raya Sanana)


Gambar : Gresnews.com
Beberapa putusan Pengadilan, Majelis Hakim yang mengadili perkara sering menggunakan pertimbangan pandangan Publik/masyarakat untuk memutuskan suatu perkara yang diadili-nya, terutama perkara Pidana terlebih pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Proses Peradilan Masjid Raya Sanana yang melibatkan mantan Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Dua Periode Ahmad Hidayat Mus akan memasuki babak terakhir, dimana Majelis Hakim yang mengadili akan menyampaikan pendapat dan pandangan mereka selama proses persidangan berlangsung, dalam sebuah Keputusan, entah keputusannya seperti apa, namun hanya dua putusan yang disebutkan, Terbukti atau Tidak Terbukti, dan tidak ada orang yang dapat menentukan keputusan hakim dimaksud selain Mejelis Hakim yang mengadili perkara dimaksud.
Pandangan kontras terasa diluar pengadilan dimana akhir dari putusan Peradilan Masjid Raya Sula ini memunculkan anggapan bahwa Ahmad Hidayat Mus atau AHM akan diputus bebas, pandangan ini bukannya tidak beralasan namun dengan pertimbangan proses persidangan yang diikuti oleh publik/masyarakat melaui pemberitaan media cetak di Ternate diantaranya Kesaksian para Saksi yang mencabut BAP mereka dalam tahapan Penyidikan di dalam persidangan dan menyatakan dalam persidangan perkara dimaksud  tidak melibatkan AHM.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa AHM akan ditetapkan bersalah oleh karena perkara masjid Raya Sanana sebelumnya pernah diadili dengan Terdakwa yang berbeda dan Majelis Hakim yang mengadilnya menyatakan para Terdakwa dimaksud bersalah melakukan tindak pidana korupsi, selain itu juga ada pandangan lain bahwa pada tingkat pertama AHM akan bebas, namun pada tahap Kasasi nantinya AHM akan ditetapkan bersalah, oleh karena Majelis Hakim Tingkat pertama melanggar asas persidangan pidana yaitu Asas Hakim Aktif dimana Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua Pengadilan Negeri Ternate itu, dinilai tidak Aktif dalam persidangan, terkait dengan penarikan BAP (berita acara pemeriksaan) Saksi-saksi serta kemudian Majelis Hakim menolak untuk menghadirkan saksi verbalisan (Penyidik) yang diminta oleh Jaksa Penuntut, penolakan menghadirkan saksi Verbalisan itu dinilai sebagai tidak diterapkannya Asas Hakim Aktif dalam persidangan Pidana, oleh karena itu tingkat peradilan Kasasi tidak lagi menilai fakta persidangan namun penerapan hukum dan asas oleh Majelis Hakim pada tingkat sebelumnya, namun hal itu semua adalah opini Publik.   
Akhir-akhir ini mejelang putusan Masjid Raya Sula di Media Sosial (Medsos) ramai diperbincangkan  bahwa AHM akan divonis bebas bahkan ada gerakan di medsos (facebook) dengan sebutan “Gerakan 1000 Hastag, #AHMBebas”  sebelum mengurai lebih lanjut saya akan mengartikan pengertian Opin dan Publik, Opini atau dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan diartikan sebagai Pendapat ; Pikiran ; pendirian. Sementara Publik adalah pendapat umum ; pendapat sebagian besar rakyat. Nah gerakan 1000 Hastag #AHMbebas hanya semata-mata sebuah pendapat atau pendirian, terlepas dari semua itu saya masih meyakini bahwa Majelis Hakim yang Mengadili perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Masjid Raya Sula tidak terpengaruh dan tetap pada prinsip-prinsip yang diatur ketentuan Hukum dan Perundang-undangan.
Penanganan tindak pidana korupsi adalah tangungjawab semua pihak tanpa terkecuali, lembaga Peradilan dibawah Mahkamah Agung juga mempunyai tangungjawab yang sama, walaupun Hakim-hakim yang dibawah kekuasaan Kehakiman melalui Mahkamah Agung dituntut untuk tidak memihak dalam mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi entah itu keberpihakan ke Jaksa Penuntut umum apalagi Terdakwa melalui Kuasa Hukumnya, Prinsip ini diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 serta Pasal 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman , dimana farasa “Merdeka/bebas” pada Pasal 1 UU No 4 Tahun 2004 lebih di dekatkan pada Hakim serta dimaknai sebagai kebebasan atau kemerdekaan  Individual atau kebebasan ekstensial (Adonara, 2015, p. 222).
merdeka dan atau bebas sebagaimana pada pasal 1 UU No 4 Tahun 2002 tidak menjamin hakim bebas intervensi dalam mengadili sebuah perkara Tindak Pidana Korupsi termasuk Opini Publik/Pandangan Masyarakat. Semisalnya perkara Tindak Pidana Korupsi yang pernah saya tangani pada tingkat Banding hingga Kasasi dengan Terdakwa Sitna Djuma (kasus korupsi Ranperda Anggota DPRD Propinsi Maluku Utara Tahun 2011) dalam amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Maluku Utara terlihat Majelis Hakim yang diketuai oleh H. Djumlai.,SH serta dua anggota Hakim Maman M. Ambari, SH.MH dan  DR. H. Ansori, SH.,MH mempertimbangkan opini publik/pandangan masyarakat dengan mamasukan farasa sebagai berikut Menimbang, bahwa oleh karena tindak pidana itu telah dilakukan secara bersama-sama dan kwalitas perbuatan yang terbukti juga adalah sama, sedangkan para terdakwa sebelumnya telah dijatuhi pidana maka pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tidaklah boleh berbeda karena akan menimbulkan disparitas antara terdakwa yang satu dengan Terdakwa yang lain, dan dapat menimbulkan penafsiran yang negative yang pada akhirnya akan menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.. (Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara Nomor : 01/Pid.Sus-TPK/2015/PT.TTE, Halaman : 89 – 90).
Selanjutnya harapan besar masyarakat Maluku Utara agar Majelis Hakim yang mengadili Dugaan Korupsi Masjid Raya Sanana agar dapat menarik kesimpulan persidangan dengan baik serta bebas dari tekanan dan kepentingan dengan berbagai dimensi, Mengutip pendapat Baharuddin Loppa “Biar Pun Langit Runtuh Hukum Tetap Di Tegakan”.[]

*dimuat pada Harian Malut Post, Edisi 12 Juni 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH : GUGATAN PERLAWANAN EKSEKUSI

CONTOH NOTA PEMBELAAN ATAU PLEDOI PADA PERKARA UU ITE

TINDAK PIDANA KORUPSI AKTIF MENURUT "ADAMI CHAZAWI"