Walhi "Bacerita" Regulasi Hak Kelola Rakyat
TERNATE, AM.com–
Sistem pengelolaan hutan yang dilakukan rakyat selama ini masih lemah.
Karena dibatasi dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, penting
kiranya untuk didorong sebuah regulasi atas Hak Kelola Rakyat. Langkah
itu, yang akan dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Maluku Utara (Malut). Hal itu terungkap, saat duduk bacerita dan buka
puasa, Selasa (20/6/2017) sore tadi, di Base Camp WALHI Malut, Kelurahan
Tanah Tinggi (Belakang RSUD Chasan Boesoirie).
Dalam diskusi yang mengangkat tema; “Membedah Sistem Pengelolaan
Hutan Berbasis Kearifan Lokal Di Kampung Gane dan Kalaodi Dalam
Mendorong Pengakuan Hak Wilayah Kelola Rakyat” itu, dipandu langsung
oleh Direktur WALHI Malut, Ismed Soelaiman. Dihadiri para advokat,
mahasiswa serta perwakilan warga dua Kampung (Gane dan Kalaodi).
Ismed menyampaikan, hal ini merupakan salah satu potret yang terjadi di Maluku Utara, dimana hak kelola rakyat masih dibatasi. Sebagaimana yang terjadi di republik ini, regulasi yang mengakomodir kepentingan masyarakat di rubah (baca dihapus) karena tekanan capital yang direpresentasikan oleh investasi berbasis lahan.
Dia mencontohkan, konflik ruang antara warga Gane dengan korporasi kelapa sawit, PT. Korindo dan komunitas Mange di Taliabu dengan industri esktraksi, PT. Adidaya Tangguh.
“Nah, ada hal yang paling menarik untuk di jawab oleh kawan-kawan. Apakah, sistem nilai kearifan sebuah masyarakat dalam berinteraksi dengan alam yang biasanya tak tertulis hanya terinformasikan melalui tradisi tutur, dapat dijadikan instrumen dalam memproteksi ruang kelolanya dari arus degradasi lingkungan karena tekanan modal?
Ismed menyampaikan kita dapat membuat skala banding. Issu lingkungan
hidup kini mendapat tempat dan perhatian publik baik yang diwacanakan
pada forum-forum global hingga warung kopi di tingkat lokal, seiring
dengan laju degradasi linkungan dan esklasi konflik berbasis lahan
antara rakyat dengan korporasi.
Bisa dicek, dengan Banyaknya lembaga NGO yang konseren pada persoalan ekologi serta aktifis pro demokrasi kelas menengah terdidik yang vokal dalam mengawal kebijakan publik dengan skala intensitas konflik perampasan ruang hidup dimana saat ini terus meluas.
Sementara itu, Fahrudin Maloko menambahkan bahwa Pada April 2017, pemerintah melalui KLHK telah menerbitkan SK. No.07 Tahun 2017 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial. Dimana untuk Provinsi Maluku Utara sendiri terdapat 11 wilayah usulan yang tersebar di beberapa daerah.
Pengacara muda ini pun menjelaskan, bahwa undang-undang nomor 6 tahun 2014 dan sebelumnya tahun 1972 tentang desa merupakan batu loncatan yuridis untuk mengatur peraturan desa terkait dengan wilayah kelola rakyat.
“Pemerintah Daerah mestinya menerbitkan sebuah Perda yang mengakomodir produktifitas serta sistem nilai budaya yang bijak pada aspek ekologi di setiap komunitas ulayat di wilayah administrasinya. Misalnya kampung Kalaodi, Kota Tidore Kepuluan, masyrakat setempat mewarisi ingatan kultural yang kuat terkait dengan tata sistem pengelolaan alam dan lahan petik dengan tetap mempertimbangkan kaidah keberlanjutan,” ujarnya.
Sementara pengacara lainnya, Maharani Carolina Salindeho,
mengatakan,penting kiranya adanya regulasi yang mengakomodir kebutuhan
masyarakat yang ingin mendorong adanya pengakuan hak wilayah yang
dikelola oleh mereka. Karena itu perlu ada kerjasama semua pihak. Baik
unsur pemerintah daerah, lembaga pendamping, dan komunitas atau
masyarakat.
(blm)
Sumber :
http://aspirasimalut.com/2017/06/21/walhi-bacerita-regulasi-hak-kelola-rakyat/
Photo By; Walhi ED Maluku Utara |
Ismed menyampaikan, hal ini merupakan salah satu potret yang terjadi di Maluku Utara, dimana hak kelola rakyat masih dibatasi. Sebagaimana yang terjadi di republik ini, regulasi yang mengakomodir kepentingan masyarakat di rubah (baca dihapus) karena tekanan capital yang direpresentasikan oleh investasi berbasis lahan.
Dia mencontohkan, konflik ruang antara warga Gane dengan korporasi kelapa sawit, PT. Korindo dan komunitas Mange di Taliabu dengan industri esktraksi, PT. Adidaya Tangguh.
“Nah, ada hal yang paling menarik untuk di jawab oleh kawan-kawan. Apakah, sistem nilai kearifan sebuah masyarakat dalam berinteraksi dengan alam yang biasanya tak tertulis hanya terinformasikan melalui tradisi tutur, dapat dijadikan instrumen dalam memproteksi ruang kelolanya dari arus degradasi lingkungan karena tekanan modal?
Photo by Mongabay |
Bisa dicek, dengan Banyaknya lembaga NGO yang konseren pada persoalan ekologi serta aktifis pro demokrasi kelas menengah terdidik yang vokal dalam mengawal kebijakan publik dengan skala intensitas konflik perampasan ruang hidup dimana saat ini terus meluas.
Sementara itu, Fahrudin Maloko menambahkan bahwa Pada April 2017, pemerintah melalui KLHK telah menerbitkan SK. No.07 Tahun 2017 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial. Dimana untuk Provinsi Maluku Utara sendiri terdapat 11 wilayah usulan yang tersebar di beberapa daerah.
Pengacara muda ini pun menjelaskan, bahwa undang-undang nomor 6 tahun 2014 dan sebelumnya tahun 1972 tentang desa merupakan batu loncatan yuridis untuk mengatur peraturan desa terkait dengan wilayah kelola rakyat.
“Pemerintah Daerah mestinya menerbitkan sebuah Perda yang mengakomodir produktifitas serta sistem nilai budaya yang bijak pada aspek ekologi di setiap komunitas ulayat di wilayah administrasinya. Misalnya kampung Kalaodi, Kota Tidore Kepuluan, masyrakat setempat mewarisi ingatan kultural yang kuat terkait dengan tata sistem pengelolaan alam dan lahan petik dengan tetap mempertimbangkan kaidah keberlanjutan,” ujarnya.
Photo by: Walhi ED Maluku Utara |
(blm)
Sumber :
http://aspirasimalut.com/2017/06/21/walhi-bacerita-regulasi-hak-kelola-rakyat/
Komentar
Posting Komentar