Delik Korupsi dan Hitung Kerugian Uang Negara
Tanggal 23 Maret 2022, Pengadilan Tinggi Mataram mengeluarkan putusan atas perkara Tindak Pidana Korupsi dengan Nomor : 4/PID.PTK/2022/PT.MTR, yang mana dalam pertimbangan hukumnya menyampingkan kedudukan BPKP, dalam hal ini BPKP NTB (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Nusa Tengara Barat) atas perhitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi (Putusan ini Pengadilan Tinggi Mataram belum mempunyai kekuatan hukum mengikat).
Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Mataram menilai bahwa kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara korupsi dimaksud dari hasil audit BPKP NTB, bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno MA bagian A angka (6), meyebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan adalah badan pemeriksa keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti badan pengawas keuangan dan pembangunan/Inspektorat/satuan kerja perangkat daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara (Amar pertimbangan putusan No. 4/PID.PTK/2022/PT.MTR, halaman 113.
Putusan pengadilan tinggi mataram yang para penulis sajikan di atas, hingga tulisan ini buat, putusan dimaksud belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun legal rasio yang digunakan oleh Hakim Tinggi tersebut dalam lapangan praktek acara terutama proses persidangan Pidana Korupsi untuk kalangan Advokat/Pengacara menjadi perdebatan hukum yang hangat. Terutama kewenangan penentuan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara atas sebuah dugaan tindak pidana korupsi.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, terutama pada ketentuan norma pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya ada persyaratan pemenuhan unsur pidana atau dalam bahasa hukum unsur delik atas sebuah pasal yang didakwakan. Yang pertama; Perbuatan pidana korupsi dimaksud, jika perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorangan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Yang Kedua; perbuatan tersebut mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, dan Yang Ketiga; kerugian keuangan negara tersebut atau perekonomian tersebut menguntungkan seseorangan atau koorporasi. Jika dalam unsur-unsur disajikan di atas dalam persidangan serta pembuktiannya tidak dapat dibuktikan salah satu unsur maka orang yang didakwaan tindak pidana korupsi akan divonis tidak bersalah. Begitupun sebaliknya jika ketiga unsur tersebut terpenuhi dalam persidangan maka seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi harus divonis bersalah.
Tentunya aspek pembuktian dalam Acara pidana wajib mematuhi norma pasal yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yang mengatur alat bukti yang sah secara hukum dalam perkara Pidana yaitu; a. alat bukti keterangan saksi, b. alat bukti keterangan Ahli, c. surat, d. petunjuk, dan e. keterangan terdakwa. Yang mana harus terpenuhi dua alat bukti. Keterpenuhan alat bukti pidana dimaksud sehingga penyidik dapat melakukan penetapan tersangka, hingga vonis bersalah oleh hakim di pengadilan (dipengadilan ditambah keyakinan hakim disamping dua alat bukti).
Begitupun Unsur kerugian keuangan keuangan negara, jika semua perbuatan dimaksud terpenuhi perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan namun tidak adanya kerugian keuangan negara maka seseoranga yang didakwa korupsi harus dibebaskan.
Setidaknya dalam pengalaman kami mendampingi perkara korupsi di pengadilan, ada sejumlah putusan-putusan hakim yang dalam pertimbangan kerugian keuangan negara mengunakan audit yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Kedudukan BPK dan BPKP
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kita selalu mendengar istilah lembaga negara teratas atau lembaga negara tertinggi yang kedudukan serta pengaturan kewenangan lembaga negara tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Secara teoritik pandangan yang dikemukakan oleh Prof. Jimly Assidiqie (2012.43) bahwa ada yang dikenal dengan teori norma sumber legitimasi yang penjelasannya berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada lembaga negara bersangkutan yang kewenangannya diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dan Lembaga-lembaga secara hirarki di bawahnya.
Badan Pemeriksa Keuangan Secara Kedudukan dan Kewenangan atributif legalitas konstitusional melalui Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 23E (1) yang menyebutkan “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Selanjutnya terkait dengan kewenangan lanjutan yang diatur oleh Peraturan dibawahnya yakni Berlanjut pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 10 dan Pasal 11 berkaitan dengan unsur pidana dan “kerugian negara”;
1. Pasal 10 ayat (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Ayat (2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
2. Pasal 11 huruf c BPK dapat memberikan; keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Kemudian berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016 bahwa dalam Rumusan Hukum Kamar Pidana angka 6 (enam) Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara. Sebagaimana diketahui bahwa SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) pada lingkungan Mahkamah Agung menjadi bagian dari pedoman dalam beracara di lingkungan Peradilan yang di langsungkan Mahkamah Agung.
Terlepas dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan dalam menentukan kerugian negara sering dijumpai dalam persidangan tindak pidana korupsi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga dapat menilai dan menentukan kerugian negara. Namun jika dipahami dalam rumusan Surat Edaran Mahkamah Agung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) masi diberi ruang dan wewenang dalam menjalankan tugasnya dalam menilai kerugian negara namun penilaian kerugian negara yang dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut bukan sebagai pihak yang menentukan kerugian negara di Persidangan melainkan audit atas kerugian negara yang dilakukan oleh Lembaga tersebut sebatas pada internal pemerintahan dan pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden.
Berkaitan dengan penjelasan dari peraturan perundang-undang diatas maka dapat dilihat bahwa kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menentukan kerugian keuangan negara secara legalitas mempunyai kedudukan dan kewenangan yang diatur baik pada Peraturan tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan diaturnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung. Kewenangan ini yang oleh Philipus M. Hadjon (2014.101) disebut sebagai “rechmatig bestuur”, yang lebih rinci menyebutkan “rechmatig bestuur” adalah asas pemerintahan yang bertumpu atas asas negara hukum, yaitu asas legalitas olehnya itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang lebih berwenang untuk menentukan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi karena memiliki sumber legitimasi yang kuat.
Kedudukan Hakim sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman
Terlepas dari perdebatan terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam dalik Korupsi, yang menurut para penulis masih menjadi disparitas terutama terkait penentuan kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara, adalah Hakim sebagai penentu untuk menilai pengunaan kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dimaksud.
Kewenangan kehakiman yang melekat pada hakim dipengadian serta bersumber dari Undang-Undang adalah kewenangan yang absolute untuk menilai sebuah perkara yan diperhadapkannya, sehingga sikap kenegarawan sangat dibutuhkan dalam jiwa hakim. Tulisan ini setidaknya para penulis sajikan bagi para pembaca selain sebagai pengatahuan hukum serta padangan atau gagasan dalam ranah akademika dalam dunia hukum, juga diharapkan menjadi catatan bagian-bagian jahitan untuk terus memperbaiki langkah kebijakan Politik Hukum terutama Politik Hukum Pidana kedepan
serta penegakan hukum yang terang berbasis pada Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimaan yang diamanatkan dalam Konstitusi.
Oleh : Fahruddin Maloko & Mulyadi S. Awal
Advokat Pada Kantor Hukum Fahruddin Maloko & Rekan
Beralamat kantor di Jalan Jambu, RT/RW : 005/003, Kelurahan Makassar Timur, Kecamatan Kota Ternate Tengah. Kota Ternate.
Pernah dimuat pada media online kalesang.id : https://kalesang.id/2022/05/30/delik-korupsi-dan-hitung-kerugian-uang-negara/
Komentar
Posting Komentar