MENEGAKKAN HUKUM PIDANA (sebuah catatan singkat Advokat)


Dalam hukum pembuktian di lapangan hukum pidana, ada sebuah pri
bahas hukum yang dalam bahasa latin sebagai berikut ; 
probantiones bendent esse luce clariores, yang jika diartikan dalam bahasa indonesia ialah ; dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya.


Pribahasa hukum di atas tentunya menjadi catatan penting terutama penegak hukum entah itu, Penyidik pada Kepolisian, Jaksa Penuntut, Advokat serta Hakim, terutama pembuktian terkait permasalahan pidana, entah penganiayaan, penculikan sampai pada tindak pidana korupsi, yang mana dituntut untuk lebih terang dan jelas dalam hal mengsangkakan seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana , yang secara statistik persangkaan tersebut rata-rata sudah 80 % hingga 90%, tentunya dengan bukti-bukti yang jelas serta perolehannya sah secara hukum.


 

Kedudukan bukti yang jelas dan terang untuk mengsangkakan seorang warga yang diduga melakukan tindak pidana, sudah dipertegas dalam konstitusi UUD 1945, terutama terkait Hak Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pengakuannya, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (lihat : Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).

 

Negara secara konstituisional sudah memproteksi maupun mengingatkan, terutama mengatur secara seimbang seorang yang diduga melakukan pidana berhadapan dengan organisasi pemerintah, sampai pada mekanisme pembelaan terhadap dirinya pada setiap tahapan formal yang diatur dalam undang-undang.


 

Dalam praktek hukum, terutama lapangan hukum pidana (kriminal), persoalan tata pembuktian ini masih terus menjadi polemik diantara penegak hukum. Terakhir Mahakamah Konstitusi melalui putusannya nomor 21/PPU/-XII/2014 menambahkan objek penetapan tersangka merupakan objek praperadilan dalam hukum acara pidana.


 

Praperadilan sendiri merupakan sarana yang disediakan oleh Hukum, terutama hukum acara pidana untuk menguji serta memeriksa tata cara pengeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan, sampai pada penetapan seorang sebagai Tersangka oleh Penyidik pada kepolisian maupun Kejaksaan (kejaksaan untuk tindak pidana khusus), apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum serta memastikan tidak adanya pelampauan kewenangan dalam kerja-kerja penyidik sebagaimana dimaksud. Hal ini memastikan bahwa wewenang aparat penegak hukum tidak serta merta dalam melakukan tugas, namun ada ketentuan hukum yang membatasi untuk tidak melakukan itu dan melakukan ini, ketentuan ini semata-mata untuk memastikan bahwa negara ini mengedapankan keadilan dan hukum sebagai panglima. 


Penulis sebagai seorang advokat/pengacara banyak mendapatkan catatan dalam hal kerja-kerja penegakan hukum, contoh yang pernah dialami oleh penulis saat mendampingi ibu dan anak yang disangkakan bahkan di dakwakan dalam persidangan telah melakukan tindak pidana, yang pada akhirnya di vonis bebas oleh Hakim karena tidak terbukti dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Catatan yang diambil penulis yang pertama, sanksi sosial terhadap Ibu dan anak mendahului putusan pengadilan. Sanksi sosial pasangan ibu dan anak ini terang menimpah mereka sebelum adanya putusan hakim, usaha yang digarap mulai terlihat sepi, serta malu untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan setelah divonis bebas oleh hakim mereka harus memulai hidup baru dengan adaptasi yang baru.

 

Problem yang dihadapi ibu dan anak sebagaimana yang penulis contohkan, ialah problem hukum terutama hukum pidana kita saat ini. Bagaimana bentuk rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan harkat dan martabat mereka setelah melalui proses peradilan pidana dan dinyatakan tidak terbukti. 

 

Secara hukum hal ini telah diatur, melalui sejumlah regulasi namun dampak secara sosial belum menuju perbaikan atau rehabilitasi terhadap seseorang yang berhadapan dengan pidana serta kemudian dibebaskan hakim. Tentu saja freming yang ada secara sosial “dia pernah masuk penjara dan lain-lain”.

 

Upaya perbaikan sistem hukum pidana terus “digenjot” oleh pemerintah, bahkan saat ini sudah pada tahapan pembahasan di DPR untuk melakukan perubahan terhadap tata hukum pidana di Indonesia, teruama perubahan hukum pidana yang mengarah pada hukum pidana moderen.

 

Terminologi baru dalam upaya-upaya hukum pidana moderen ada yang dikenal saat ini dengan sebutan Restoratif Justice atau keadilan restoratif, dalam praktek hukum pidana keadilan restoratif ini sudah diperaktekkan oleh aparat-aparat penegak hukum yaitu di tahapan penyidik/kepolisian maupun Jaksa Penuntut/Kejaksaan. Dimana aparat hukum (penyidik dan jaksa penuntut) diberikan kewenangan diskresi untuk menyelesaikan persoalan pidana tanpa melulu melalui jalur persidangan dipengadilan. Selain sebagai upaya musyawarah mufakat terutama memperhatikan kepentingan korban dan pelaku pidana, juga untuk membatasi Rumah tahanan kita yang sudah melebihi kapasitas oleh karena banyak tersangka yang ditahan karena alasan hukum.

 

Tentunya kebijakan politik hukum terutama hukum pidana saat ini yang mengarah pada hukum pidana moderen harus terus diberpincangkan, terutama di dunia akademik, kampus dan para praktisi hukum, serta masyarakat untuk menemukan kata kunci baru yang mengarah pada upaya kesenambungan, kesejahteraan, kebahagiaan dan rasa aman warga negara sebagaimana tujuan hukum pidana itu sendiri.

 

Akhirnya kepastian pembuktian yang terang dan jelas dalam hal proses yustisia, perbaikan cara pandangan sosial terhadap pelaku dan korban pidana, hingga pada perbaikan tata pemidanaan dapat sudah sepantasnya menjadi prinsip-prinsip baru dalam pelaksanaan penerapan hukum pidana moderen yang saat ini terus diperbincangkan agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, sebagaimana cita-cita bangsa yang diamanatkan dalam Konstitusi/UUD 1945.



*diterbitkan oleh Media Kalesang.id pada tanggal 1 Maret 2022

https://kalesang.id/2022/03/01/menegakkan-hukum-pidana/

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH : GUGATAN PERLAWANAN EKSEKUSI

CONTOH NOTA PEMBELAAN ATAU PLEDOI PADA PERKARA UU ITE

TINDAK PIDANA KORUPSI AKTIF MENURUT "ADAMI CHAZAWI"