HUKUM, MAJELIS HAKIM SERTA PUTUSANNYA

H.L.A. Hart seorang pakar hukum ternama, disebut-sebut sebagai orang yang pertama meletakan pemisahan antara Hukum dan Moralitas, dalam karya bersarnya The Concept Of Law atau Konsep Hukum. Hart, berkeinginan agar menegakan hukum hanya semata-mata untuk “hukum”, yang dimaksud hukum disini ialah hukum atau Undang-undang yang berlaku tanpa harus mendasarinya dengan “Moral”-litas, terutama para penegak hukum (criminal justice system=penegakan hukum pidana).
Ilustrasi
Konsep yang diajukan oleh Hart, menuai banyak kritikan dari sejumlah pakar hukum lainnya. Terutama mereka para ahli hukum yang mendasari argumentasinya pada dimensi sosiologis-hukum. Di Indonesia peletak pemikiran ini berawal dari seruan seorang kolumus dan pemikir Alm. Sacipto Rahardjo atau dikenal pada kalangannya dengan pangilan akrab Prof. Tjip. Prof. Tjip dalam karya fenomenalnya Biarkan Hukum Mengalir, mengurai banyak hal terkait penegakan hukum, terutama peran institusi penegak hukum (polisi, jaksa, advokat, hakim). Institusi hukum dalam menjalankan fungsinya sering menyampingkan dimensi sosiologis atau pertimbangan social kemasyarakatan, penegak hukum terlihat fakum dan dogmatic terhadap ketentuan normative/undang-undang sehingga nilai keadilan yang menjadi tujuan hukum, terkesan sebagai sebuah nilai keadilan structural bukan keadilan Subtansi/sebenarnya. Lantas bentuk penegakan hukum model apa yang harus di terapkan.?, sejauhmana penegakan hukum dibangsa.?
Tulisan dan pemikiran tentang konsep penegakan hukum sudah banyak ditulis dan diungkapkan oleh berbagai kalangan. Konsep penegakan hukum tersebut ditelaah dari berbagai macam sudut pandang, namun yang tidak bisa dipisahkan dari penelaran tersebut ialah tentang “Keadilan”.
Keadilan hingga kini masih belum bisa diukur ketepatannya, apa dan bagaimana kedudukan keadilan itu sendiri. Apakah mata dibalas mata.? Darah dibalas darah.?, pada berbagai sudut pandang tersebut bisa dikatakan adil, namun ada juga yang berangapan tidak adil, maka takar nilai dari Keadilan itu sangat Subjektif, sejauhmana Subjek (individu/manusia) menerjemahkan Keadilan.
Untuk mengakhiri perdebatan, Negara sebagai Organisasi Tertinggi dengan mengunakan sifat represifnya memproteksi nilai keadilan tersebut pada sebuah lembaga Peradilan yang dibolehkan untuk menafsir serta menglahirkan keputusan tentang keadilan. Individu dan kelompok masyarakat ditata sedemikian rupa lewat regulasi untuk mencari Keadilan pada lembaga Peradilan yang sudah disiapkan oleh Negara (Peradilan Umum/Pengadilan dan Peradilan Khusus/Pengadilan).
Menjalankan sebagian dari tugas “Ilahi” dapat disebutkan pada apa yang menjadi tugas dari para Majelis Hakim yang mengadili dan melahirkan putusan pada sebuah perkara yang dipersidangkan di Pengadilan. Menimbang sangkaan, alat bukti, argumentasi para pembela (advokat), hingga pada Putusan adalah tugas-tugas yang tak gampang di jalankan oleh Majelis Hakim, hal ini bukan hanya terkait dengan nasib dan jalan hidup seorang Terdakwa yang dipersidangkan, namun juga penilaian public terhadap lembaga penegak keadilan ini. Jika putusan yang dilahirkan cacat dari mata dan penilaian public hal ini tentunya berdampak signifikan pada lembaga peradilan dan apparatus hukum pada umumnya.
Tentunya bekal dan keahlian dari para Majelis Hakim bukan sekedar bekal semata, namun juga diikuti dengan sikap yang benar-benar sikap sebagai seorang Pengadil. Keberadaan argumentasi ahli terutama ahli dibidang hukum tidak bisa terpisahkan dari keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim, secara metodologis, argumentasi yang dilahirkan oleh para Ahli sudah dilakukan cek dan ricek secara periodic terkait dimensi Filosofis, Historis, bahkan Sosiologis yang menjadi Instrument pendukung untuk mencoba menakar nilai keadilan, disamping aspek Normatif Yuridis.

Dalam berbagai kesempatan kritikan banyak mengarah pada Keputusan Hukum/Putusan Pengadilan pada akhir sebuah persidangan, ada yang menilai dari berbagai macam perspektif, Majelis Hakim kurang memperhatikan aspek Normatif, Sosiologis, Historis dan sebagainnya, namun demikian Putusan hukum adanya. Tapi yang menjadi hal penting untuk diperhatikan oleh Majelis Hakim ialah sikap keberanian kerena keberpihakan pada nilai keadilan dalam malahirkan keputusan. Ada sebuah Hipotesa yang juga penulis anggap sebagai sebuah Pameo bahwa, “saat Majelis Hakim memutuskan perkara Korupsi mereka takut membebaskan Terdakwa dari tuntutan hukum padahal jelas bukti yang diajukan tidak terbukti, sebab nantinya akan dijadilan masalah oleh public karena membebaskan terdakwa Koruptor yang berakhir pada Komisi Yudisial, di sisilainnya mereka memutuskan terdakwa bersalah dengan pidana yang ringan padahal terang terdakwa telah melakukan tindak pidana Korupsi”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH : GUGATAN PERLAWANAN EKSEKUSI

CONTOH NOTA PEMBELAAN ATAU PLEDOI PADA PERKARA UU ITE

TINDAK PIDANA KORUPSI AKTIF MENURUT "ADAMI CHAZAWI"