KEADILAN EKOLOGI


(Tanggapan Atas Krisis Air Bersih di Utara Ternate)
Oleh: Fahruddin Maloko
Advokat/Pengacara Publik

Krisis air bersih kali ini sudah melanda Kota Ternate, terutama di wilayah utara, Kelurahan Sangaji, Tafure, Akehuda. Warga pun mulai mengeluhkan kualitas air yang sudah terkontaminasi dengan air laut (air payau/salobar). Sehingga konsumsi air minum oleh warga tempatan bukan lagi air yang digunakan warga sebelumnya (air PDAM) namun warga lebih memilih untuk membeli air kemasan atau air pada depot-depot air isi ulang (air gelon) yang tentunya harus mengorek saku warga. Sementara air PDAM hanya digunakan warga untuk mandi dan mencuci (MCK). Karena air sumber air bersih di Ake Gale diduga sudah terkontaminasi dengan air laut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekolah Demokrasi Ekonomi (SDE) terhadap 200 Pulau di perairan di Indonesia dari tahun  2007-2015 didapatkan, sistem ekologis pulau mengalami penghancuran dahsyat yang ditandai di antaranya hancurnya sistem air, meningkatnya jumlah DAS (Daerah Aliran Sungai) kritis dan superkritis, pengrusakan hutan, pembongkaran tutupan dan lapisan atas tanah di kepulauan yang berlangsung cepat dan tanpa pandang bulu (KOMPAS, Selasa, 6 Oktober 2015.,Opini: Menimbang Masa Depan, Hal. 7).
Hasil penelitian SDE di 200 pulau perairan di Indonesia, tanpa terkeculai Pulau Ternate sebagai salah satu pulau yang mengalami krisis ekologis serupa, sejak tahun 2009 informasi serupa pernah disampaikan oleh Walhi Maluku Utara terkait ancaman atas krisis air bersih yang melanda Pulau Ternate. Perluasan ruang kota melalui cara reklamasi/penimbunan kawasan pesisir adalah titik sentral penghancuran pulau-pulau pesisir di Indonesia. Disamping Industri Ekstraksi Pertambangan yang marak, disayangkan perluasan ruang kota Ternate ini hanya semata-mata mendukung upaya perluasan ruang modal dan kapital para pengusaha yang tak habis-habisnya memupuk keuntungan semata.
Krisis air bersih yang dialami oleh warga pulau Ternate bagian utara merupakan pengabaian hak-hak dasar warga negara untuk menikmati sumber-sumber penghidupan (air, pangan dan energi). Dan negara melalui pemerintah bertangung-jawab secara konstitusional untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. UUD 1945 telah menjaminkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28  C dan H, UUD 1945).
Jaminan atas kepastian hukum, terutama atas kondisi lingkungan hidup yang baik serta sehat tak lain merupakan hak dasar warga negara masih sebatas wacana semata. Upaya hukum masyarakat terdampak untuk mengakses keadilan sering kali mentah dan buntu. Kasus dugaan pencemaran lingkungan hidup akibat bocornya pipa tailing milik PT. Nusa Halmahera Minerals di Halmahera Utara yang secara nyata berdampak pada masyarakat tempatan, hingga kini belum mendapatkan kejelasan yang pasti. Apalagi sekarang yang dialami oleh masyarakat di bagian Utara Pulau Ternate, yang tidak dapat menikmati air bersih.
Keberadaan regulasi yang mengatur tata lingkungan hidup adalah regulasi yang dianggap sebagian ahli dan pakar sebagai sebuah regulasi yang cukup memadai untuk menata lingkungan hidup, terutama terjaganya keseimbangan ekologi dan ekosistem pada sebuah kesatuan ruang hidup. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup merupakan undang-undang yang dianggap serius memperhatikan dimensi perlindungan lingkungan hidup.
Secara normative, dimensi hukum dalam UU No 32 Tahun 2009 yaitu dimensi hukum perdata, administrasi serta pidana yang juga sebagai bentuk sanksi-sanksi yang diatur secara khusus. Di beberapa daerah, penegakan hukum lingkungan hidup mulai menemukan esensinya. Semisalnya upaya warga di wilayah Sulawesi Utara (Buyat) yang melakukan Pengaduan tindak pidana lingkungan hidup terhadap PT. Newmont Minahasa Raya karena mencemarkan teluk buyat. Walhasil pengurus perusahaan dipidana melalui sebuah putusan Pengadilan. Di lain sisi perusahaan yang terbukti mencemarkan lingkungan hidup izin operasinya dicabut secara administrasi. Sementara dimensi keperdataan nyaris tidak ada pada putusan-putusan pengadilan.
Ganti kerugian dan pemulihan lingkungan adalah sanksi bersifat keperdataan yang diatur secara jelas dalam UU No 32 Tahun 2009 sebagaimana dalam Pasal 87 yang menyatakan: setiap penangungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Jika diperhatikan dengan saksama kondisi yang terjadi di wilayah bagian utara pulau Ternate akibat terkontaminasinya sumber Air Ake Gale, yang terdampak terhadap warga, maka warga bisa melakukan upaya hukum secara keperdataan untuk selanjutnya mendapatkan keadilan. Yakni bisa berupa ganti-rugi atas hilangnya hak warga untuk menikmati air bersih.
Upaya peningkatan sumber daya manusia, terutama aparat penegak hukum di bidang lingkungan hidup seharusnya terus dilakukan. Problem penegakan hukum lingkungan hidup bukan hanya pada proses politik kebijakan pemerintah, Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut UU No 32 Tahun 2009 belum juga dikeluarkan dan juga Sumber Daya Manusia. Di antara masih sedikit para penyidik, terutama penyidik PPNS maupun Polri yang belum mempunyai keahlian di bidang lingkunga hidup. Sehingga kepastian penegakan hukum lingkungan hidup masih taraf imajiner.
Selain itu pula, hakim yang mendalami spesifikasi Permasalahan Hukum Lingkungan Hidup masih dihitung dengan jari. Padahal Mahkamah Agung melalui Surat Edarannya memastikan hakim yang mengadili permasalahan lingkungan hidup di pengadilan harus memilik sertifikasi khusus hakim lingkungan hidup. Pemerintah serta aparat penegak hukum Kota Ternate atau secara umum Maluku Utara harus memikirkan problem penegakan hukum lingkungan hidup. Mengingat kondisi ruang Maluku Utara yang dihimpit beragam investasi ekstraksi skala massif yang mulai menyebar di sejumlah wilayah. Jika hal ini belum dan tidak pernah dipikirkan oleh para pengambil kebijakan, maka tentunya masyarakat yang merupakan esensi atas keberadaan hukum untuk melindungi kepentingan dan kepastian hukum hanya sebuah pepesan kosong semata. (*)

  • Pernah dimuat di surat kabar Malut Post.  Thursday, Dec 17 2015



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH : GUGATAN PERLAWANAN EKSEKUSI

CONTOH NOTA PEMBELAAN ATAU PLEDOI PADA PERKARA UU ITE

TINDAK PIDANA KORUPSI AKTIF MENURUT "ADAMI CHAZAWI"