Timur Indonesia dan Kepunahan Kearifan Lokal
Lebeling Indonesia sebagai Negara berkembang, mau tak mau mengharuskan bangsa
kita untuk mengelolah industri Ekstraktif dengan skala besar seperti seperti
pertambangan, penebangan hutan, dan ekspor sumber daya alam. salah satu yang
menjadi fokus pengelolahan sumber daya alam oleh pemerintahan sekarang ini
ialah pengelolahan Nikel, Negara kita menempati produsen kelima terbesar di
dunia untuk penyediaan nikel.
Kebijakan pemerintah untuk
pengelolahan Nikel di Indonesia tertuju pada kawasan Indonesia timur, tepatnya
berada pada wilayah pulau Halmahera, Maluku Utara. Sejumlah perencanaan telah
dicanangkan, semisalnya rencana Investasi oleh perusahaan asal Rusia “solway
Group” di pulau halmahera untuk pengelolahan nikel, PT. Weda Bay Nikel milik
Prancis, dan PT. Aneke Tambang. (ANTAM), saat ini rencana pengelolahan hingga
pada pembangunan pabrik pengelolahan nikel.
Hal lain yang paling mengelisakan,
selain ancaman pencemaran lingkungan dari aktifitas pertambagan yang berdampak
buruk pada masyarakat tempatan, juga akan tergesernya nilai-nilai kearifan
lokal yang pada dasarnya sebagai indentitas masyarakat lokal, khususnya di
pulau halmahera. Myo Facicile Salah satu suku yang tersebar di pulau halmahera
ialah suku “Sawai”, suku sawai tersebar pada wilayah halmahera tengah, dan
timur.
Sebagai suku yang mendiami pulau
halmahera, keberadaan perusahaan tambang nikel di halmahera timur dan tengah
mengancam keberadaan nilai-nilai kearifan lokal suku sawai, sebagai sarana
interaksi sosial yang telah dijaga beberapa ratusan tahun yang lalu. “Myo
Facicile” atau mangambil dengan sedikit saja (Bahasa Sawai) ialah Norma sosial
masyarakat suku sawai untuk memanfaatkan sumber daya alam, semisalnya
pemanfaatan kebutuhan pokok masyarakat ( Ikan, Sagu, kelapa, dll) dengan
memperhatikan asas keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Sekilas kata ini terdengar sangat
sederhana, namun pemaknaan kata ini, menunjukan nilai kemanusiaan yang tinggi
serta peradaban ilmu pengetahuan yang mendalam pada saat itu, yaitu belajar
bersikap “Arif”. Prinsip ini kita temui sekarang dalam pengelolahan lingkungan
hidup sebagaimana dalam perundang-undangan yang dikenal dengan “Asas
Pembangunan yang Berkelanjutan” serta beberpaa produk perundang-undangan
lainnya yang mengunakan prinsip ini.
Masuknya investasi pertambangan
menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat suku sawai di halmahera, dari hasil
temuan (Januari 2011) nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada suku sawai mulai
menghilang saat adanya perusahaan tambang yang beroperasi, hal ini diakibatkan
oleh dua hal; Pertama, besarnya lahan eksploitasi perusahaan tambang
menghilangkan dan mengancam sumber-sumber pendatapan masyarakat lokal, seperti
lahan perkebunan rakyat, sehingga masyarakat sawai untuk menjaga kembali
kearifan lokal Myo Facicile, masyarakat agak kesulitan akibat dari monopoli
lahan oleh perusahaan tambang, dan hampir tidak ada akses sumber daya alam
untuk masyarakat, dan Kedua; masuknya budaya asing, hal ini akibat dari
tingginya pendatang asing yang berlainan kebudayaan akibat dari adanya keberadaan
perusahaan tambang, ada sebagai tenaga kerja perusahaan dan, ada pula mengundi
nasib kerana adanya perusahaan tambang, akibat berbaurnya perbedaan budaya
serta minimnya langkah penyaringan kebudayaan oleh masyarkat mengakibatkan
munculnya budaya baru yang mengeser budaya-budaya masyarakat sawai, contohnya
budaya gotong royong atau disebut masyarakat sawai “Tegem Lukem” yang sudah
mulai menghilang, anak muda tidak lagi mengenal tegem lukem, malahan terkoptasi
dengan pola prilaku perkotaan yang dibawa dari luar, mulai dari cara berpakaian
hingga cara bergaul Mawas Diri Degradasi nilai-nilai kearifan lokal
terlihat-nyata akibat investasi pertambangan yang bercokol pada wilayah
tertentu, nilai-nilai kearifan lokal yang pada awalnya menjadi sarana interaksi
sosial masyarakat/komunitas untuk terus berkomunikasi, seakan hilang akibat
dari kesewenangan kebijakan pemerintah.
Konflik sosial barang tentu
merupakan tantangan dari hilangya medium komunikasi yang telah awal dibangun
oleh pendahulu. Konflik Maluku 1999-2002 sudah seharusnya menjadi catatan kaki
bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali pencanangan investasi pertambangan
di wilayah Maluku utara, tak hanya itu konflik sosial yang terjadi di beberapa
daerah dan ancaman disintegrasi bangsa, semisalnya di Papua menambah hasana
mawas diri pemerintah untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat, dari pada
kepentingan pemodal asing yang semakin mengancam pertahanan bangsa ini (NKRI).
Hilangnya nilai kearifan budaya
sangat berakibat pada lemahnya benteng sosial masyarakat sesaat menghadapi
tekanan-tekanan dari luar yang datang, mudah terkoptasi, kurangnya komunikasi
antar masyarakat merupakan imbas dari hilangnya nilai kearifan lokal selain itu
politik adu domba mudah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertangung jawab.
Mengangkat kembali nila-nilai kearifan lokal sangat penting untuk dicanangkan,
mengurangi investasi pertambangan asing, serta mengoptimalkan sektor rill
masyarakat, perkebunan, pertanian, dan kelautan, yang hampir selama ini mati
akibat dari investasi skala masi, pertambangan, dan perkebuan besar. Pemerintah
sudah seharusnya mawas diri kembali bahwa pola dan tingkah laku masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat Agraris. Kita Tunggu.
- Pernah dimuat di kompasiana. 13 Agustus 2012 | 22:25:00
Komentar
Posting Komentar